Author Archives: bibah faza

About bibah faza

Andai matahari di tangan kananku Takkan mampu mengubah yakinku Terpatri dan takkan terbeli dalam lubuk hati Bilakah rembulan di tangan kiriku Takkan sanggup mengganti imanku Jiwa dan raga ini apapun adanya Andaikan seribu siksaan terus melambai-lambaikan derita yang mendalam Seujung rambut pun aku takkan bimbang jalan ini yang kutempuh Bilakah ajal kan menjelang jemput rindu-rindu Syahid yang penuh kenikmatan Cintaku hanya untukMu tetapkan muslimku selalu.. Keimanan
Quote

 

Apa yang kalian rasakan hari-hari belakangan ini?

Pada diri kalian dan juga dakwah yang kalian bangun?

Jangan katakan ini hal biasa, sebab dakwah adalah pekerjaan luar biasa, dan para du’at juga merupakan golongan manusia luar biasa, maka guncangannya pun juga bukan hal yang biasa-biasa saja!

Untuk apa?

Surga!

Karena surga itu mahal dan sangat indah! Maka, medan yang mesti kalian tempuh, halang rintang yang menghadang, serta musuh yang mesti kalian kalahkan, juga bukan yang biasa- biasa saja; mereka begitu banyak, ganas, buas, kuat, dan tidak pernah lelah.

Namun, setelah itu justru pertolongan Allah Jalla wa ‘Ala begitu dekat. Semua tipu daya mereka dan kekuatannya bukanlah apa-apa bagi Allah yang Maha Gagah dan Maha Perkasa (Qawwiyun ‘Aziz)”.

 

_Farid Nu’man Hasan.

Note to my self #7

Catatan Hikmah

Standard

 

Sebut saja, sholihah.

Ia teman saya, teman seperjuangan dalam rangka mengejar ilmu dunia. Berjuang untuk masa depan dengan ‘bersibuk-sibuk’ menjadi akademisi. Ia seorang rajin yang taat menjalankan perintah-perintah Allah. Bukan hanya wajib, sunnah pun ia libas juga. Sholat wajib tepat waktu, sunnah dimulai dari dhuha, rowatib, dll. Puasa sunnah, begitu giat menjalani harinya dengan ilmu.

Satu hal yang menjadi pelajaran begitu berharga bagi saya, ia adalah seorang biasa (baca: tanpa embel2 “aktivis dakwah”). Tapi hubungan dengan Rabbnya, kian hari kian mendekat. Lalu, malu lah seharusnya para pembangga dengan tambahan julukannya “aktivis dakwah” jika amalan ibadah masih biasa2 saja. Justru para penyebar kebaikan harus dapat berkaca dari seorang sholihah yang tak beroleh embel2 lain dlm namanya.

Pengingatan hari ini dari seorang sahabat seperjuangan fisabilillah, “Moga kita bukan sekedar mengaku2 sebagai seorang aktivis dakwah, tapi juga mendapat pengakuan dari Allah sbg hamba yang berjihad untukNya”

 

Quote

 

Maka, menjadilah qiyadah yang mendengar bukan hanya dengan telinga, melihat bukan hanya dengan mata, berfikir bukan hanya dengan logika..

Berkaca dari ia yang dicinta para jundiynya (Allahumma sholi ‘alaa Muhammad), betapa bashirahnya dapat menguatkan tiap kelemahan, meyakinkan tiap keraguan, mencipta gurat senyum saling percaya.. Saling memiliki, saling melindungi, mengisi tiap kekurangan satu sama lain.

Moga Allah turunkan pada hati kita kekuatan untuk dapat (lebih) merasa, kekuatan mata hati kita.. Agar meski tak banyak kata, ia kan tetap dapat berjalan beriringan menuju-Nya.

Allahu’alam bishshowwab

 

_bibah fa

Note to my self #6

Lathifah As Suri, wanita tangguh disebalik sosok Sang Mujahid

Standard

*Sepenggal kisah istri Hasan Al-Banna yang menggambarkan betapa peran wanita amat besar dalam membangun mujahid/mujahidah tangguh

Lathifah As Suri nama perempuan itu. Beliau lah istri dari Imam Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah.

Tidak mudah menjadi istri seorang Hasan Al Banna. Seseorang yang setiap detik kehidupannya sarat dengan kegiatan dakwah. Di pagi buta dia sudah bergegas untuk memulai berdakwah dan kembali pulang di gelap malam. Bisa dipastikan ia adalah seorang muslimah sejati, yang bisa mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh Imam Syahid Al Banna.

Perjuangan Imam Syahid bukanlah suatu hal yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah seperti kebanyakan orang waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun rumah kardus. Imam syahid tengah dan hendak membangun sebuah peradaban. Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa seseorang yang ia yakini kesejatiannya.

Maka siapapun itu-pendampingnya- harus menyadari bahwa dipundaknya ada amanah yang sama besarnya dengan yang di emban oleh Imam Syahid. Ada dimensi waktu dan kuasa kapital disitu. Maka pertemuan diyakini menjadi suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.

 

Maka bagi Lathifah As Suri menjadi istri Hasan Al Banna menyimpan begitu banyak geregap. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah menyadari bahwa ia harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani hidup sendiri tanpa seseorang, tempat berlabuh hidup dan cintanya.

Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta resiko yang bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekuensi logis, yang sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya. Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.

Sebelum menikah dengan Hasan Al Banna, Lathifah berasal dari keluarga yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan hidup menjadi istri seorang dai.

Malam, ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya. Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Imam Syahid bahkan tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia habiskan seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada Imam Syahid. Padahal, Lathifah pun -berlepas diri dari ia seorang istri Imam Syahid- menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka yang berjumlah enam orang sesungguhnya adalah pencurahan konsentrasinya menjalani hidup. Satu-satunya yang pernah membuat dirinya gamang adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan Imam Syahid harus tetap menjalankan jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya,”Bagaimana jika ia meninggal?”. Imam Syahid hanya menarik napas panjang, ia kemudian berujar “Kakeknya lebih tau bagaimana mengurusnya. “

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anaknya. Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan destruktif. Ketika Imam Syahid bolak-balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan komitmen.

Lathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk mendidik anak-anaknya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan amal dari orang selain ibunya.

Ketika Hasan Al-Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tak ada kesah ataupun ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh mendiang suaminya. Ia tetap berlaku didalam rumah. Lathifah tidak meremehkan hudud (batasan) yang Allah tentukan. Karenanya, tak heran diantara anak-anaknya tidak ada ikhtilat (percampuran) antara anak-anaknya dan sepupunya yang berlainan jenis.

Tidak ada yang berubah dirumah itu, apa yang Imam Syahid inginkan berlaku dikeluarganya masih tetap di pegang teguh oleh Lathifah. Sendirian, ia besarkan keenam anaknya. Dirumahnya kini ia mempunyai tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan keislamannya. Yang dimaksud dengan wawasan keislamannya adalah membaca Al-Quran dengan tafsirnya, mempelajari Sunnah Rasulullah SAW, haditsnya dilanjutkan dengan usaha kuat untuk menerapkannya. Lathifah juga masih menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam. Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan memunculkan persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik, seorang wanita akan menyadari betapa penting perannya terhadap keluarga dan masyarakat.

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiah. Yang sulung, bernama Wafa-menjadi istri Dr.Said Ramadhan. Kedua Ahmad Saiful Islam, kini sebagai sekjen advokat di Mesir. Ia juga pernah duduk di parlemen. Ketiga bernama Tsana, kini sebagai dosen di Universitas Kairo. Kelima Roja, kini menjadi dokter. Dan Halah sebagai dosen kedokteran anak di Universitas Azhar. Dan terakhir, Istisyhad sebagai doktor ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti,

betapa berartinya sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami. Selain juga untuk anak-anaknya, tentu..